Menurut
sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan
termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang
dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan
yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita
transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng.
Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan,
Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah
Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.
Puputan
Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir di
Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya
Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia,
maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat
ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi
pada 10 November 1945, antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu
poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak
masuknya daerah Bali menjadi bagian dari daerah teritorial Indonesia.
Linggar
jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui
Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de facto,
sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali
sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk
menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal
banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang
menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan
ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah Sebagian
pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena
berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu
menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah
tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar
membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29
tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Alur
Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung
Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan.
Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus
dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya
berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca
pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan
penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18
November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah
informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda
pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua
kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda
mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Batalion
Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung
timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana
aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar
pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka
sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup
mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di
sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar
saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I
Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda
mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang
tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus
mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira
akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan
senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan
peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari
berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan
Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda
kewalahan.
Sederetan
pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang yang
digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat
juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi
prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun
jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan,
saat itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang
habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi
pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali
untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk
membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan
bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga
berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan
Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di
pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan
hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang
ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Latar Belakang Perang Puputan Margarana
Latar
belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan
linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Dijelaskan bahwa salah satu isi dari
perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik
Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
Dan selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling
lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda
mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh
tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali
sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu
itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman
Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan
Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda
tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di
pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan
Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik
Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi
perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda
berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk
Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I
Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18
November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara
Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan
seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti
Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada
pertempuran pertama, ternyata pasukan
Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan
Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa
Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya
dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan
Ciung Wanara.
Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara),
melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba
ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga,
Tabanan, Bali.
Tak
pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah
Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah
menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar.
Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah
perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya,
tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus
dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk
membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda
menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung
Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun
ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin
brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA
menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara.
Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian
penuh asap dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah
Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan
Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting
tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan
Bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar